Mengapa Sulit Tobat dari Kebiasaan Lama?
Sumber Gambar: Unsplash
Seingatku sejak dulu aku selalu mengerjakan sesuatu dengan ketakutan dan kecemasan berlebih. Aku takut tak mampu. Aku takut tak bisa lebih baik. Aku takut hasilnya tak sesuai dengan harapanku. Ekspektasi ini menghadirkan ketakutan lain yang lebih besar. Aku takut berubah. Setiap kali aku menyadari perasaan ini, aku akan bertekad untuk tobat, tidak cemas, tidak meletakkan ekpektasi apapun dan akan mengerjakan tujuanku lagi dengan riang gembira. Puih!
Bagaimana mengatasi kondisi ini? Padahal berubah ke arah yang lebih baik adalah keharusan.
Aku membaca banyak literasi terkait ini. Hasilnya aku (pande-pandean) menduga kalau aku mengalami mental block. Aku sempat konsultasi masalah ini kepada salah satu trauma healerku. “Aku kok ngeyelan ya anaknya? Mau berubah tapi kok balik lagi dan balik lagi ke mode default?”
Beliau tak membantah dugaanku. Hanya saja beliau mengatakan sebaiknya aku berhenti melabeli diri dan fokus kepada solusi serta mulai mengurai akar kecemasan, ketakutan dan kesulitanku berubah seperti mengupas kulit bawang. Kupas terus dan terus sampai dapat ke lapisan terdalam. Aku pun mengurai perlahan ketakutanku sambil berlatih nafas 4-7-8 dan mindful. (Mengenai nafas 4-7-8 akan kubahas lain waktu, ya. Ingatkan aku kalau lupa. Hehehhe)
Apakah aku berubah? Ternyata tidak. Aku kembali ke mode default. Kesel ga, sih? Pastinya. Namun, berhubung tubuhmu adalah milikmu sendiri dan kau bertanggung jawab penuh atasnya maka berpindahlah ke metode yang lain dan berfokus kepada solusi.
Apakah metode kupas bawang tidak efektif? Ternyata lagi-lagi masalahnya bukan di motodenya, tapi pada caraku. Setelah mendengar penjelasan Dokter Jiemi Ardian, aku berkesimpulan kalau cara pandangku yang membuat alternatif tadi tidak mempan.
Puluhan ribu tahun lalu, manusia hidup tanpa teknologi dan hidup dalam bahaya setiap hari. Saat itu hewan buas, tumbuhan dan keadaan sekitar tidak dikenali karena belum ada buku panduannya seperti sekarang. Sehingga keadaan di sekitar bisa saja membahayakan manusia setiap saat. Keadaan inilah yang membuat amigdala di otak manusia meningkatkan sensitivitas dan kadar kewaspadaannya pada bahaya.
Menurut Wikipedia, amigdala adalah bagian otak yang berperan dalam melakukan pengolahan dan ingatan terhadap reaksi emosi. Bagian ini bertanggung jawab untuk mempersiapkan tubuh dalam situasi darurat.
Setiap keadaan di sekitar terasa mencekam dan dirasa berbahaya, amigdala akan mengirimkan tiga sinyal pilihan, yaitu melawan atau menghadapinya, menghindar dan diam di tempat. Mana yang kau pilih?
Di kondisiku selama bertahun-tahun, aku lebih banyak memilih untuk menghindar dan diam di tempat. Selanjutnya aku akan marah pada diri sendiri karena seolah prosesku jalan di tempat seperti marmut yang terus berlari di rodanya tapi tidak kemana-mana. Duh! Akhirnya aku tidak memiliki daya juang untuk berubah ke arah yang lebih baik. Mengapa? Karena amigdala di otakku menganggap perubahan yang tiba-tiba dan mendadak adalah ancaman berbahaya bagi tubuhku.
Sudah mulai kelihatan ‘kan titik terangnya?
Dulu aku menginginkan perubahan terjadi secepat yang kumau. Aku menghindari risiko dan takut kepada kegagalan. Aku mau ‘benih’ yang kutanam saat itu harus berbuah secepatnya. Aku mau sekali berjuang maka hasilnya langsung tampak. Aku mau dengan sekali konsultasi ke psikolog, aku akan pulih dari depresi major. Zzzzzzzzzzz. Hahahhaha.
Padahal menurut penelitian, manusia sulit berubah secara mendadak. Otak akan mengasumsikan kalau perubahan mendadak adalah sebuah tanda bahaya. Maka tak heran bila aku menetapkan hasil drastis dalam waktu singkat, aku akan cenderung gagal mewujudkannya karena otakku langsung menganggap itu tanda bahaya. Maka tak heran aku menjadi cemas dan takut melangkah.
Familiarkah dirimu dengan janji-janji ekstrem berikut ini?
“Pokoknya bulan ini berat badanku kurang sepuluh kilo!”
“Mulai besok aku akan menulis enam cerpen dalam satu hari!”
“Aku mau meditasi dan latihan nafas sejam sehari!”
“Pokoknya bulan ini aku akan mengedit seratus tulisanku bla bla bla...”
Dokter Jiemi berulang kali menegaskan kalau perubahan tetap dianggap menakutkan oleh otak, sekalipun kita tahu kalau kita sedang berproses ke arah yang lebih baik. Amigdala akan mencegah kita berubah dengan cepat karena itu dianggap membahayakan diri.
Adakah solusi atas perasaan susah tobat ini? Kaizen adalah salah satu koentji.
Menurut Wikipedia, kaizen dalam bahasa Jepang berarti perubahan kecil berkelanjutan. Filsafat kaizen berpandangan bahwa hidup kita hendaknya fokus pada upaya perbaikan terus-menerus atau perbaikan berkesinambungan.
Ayo mulai tinggalkan pikiran, “Kalau perubahannya tidak besar maka itu bukan perubahan.” Atau “Total berubah atau tidak sama sekali!” Padahal konteksnya bukan hitam dan putih seperti itu.
Jalan yang konstan dan ditapaki terus menerus secara perlahan adalah jalan yang terbaik untuk perubahan. Mungkin ada yang berubah dalam semalam seperti kisah Alibaba dan 40 Pencuri, tapi tak banyak.
Konsep ini sejalan dengan
buku James Clear yang berjudul Atomic Habits. James mengatakan bahwa perubahan
kecil tapi rutin selalu memberikan dan menghasilkan perbedaan yang besar. Perubahan
kecil ini akan membentuk kebiasaan baru dan kebiasaan baru akan membentuk identitas
barumu secara perlahan.
Jadi apa intinya, Marjul? Mulailah melakukan perubahan secara realistis dan perlahan. Mulailah dari langkah kecil dan tidak membuat standar ketinggian.
“Mulai besok aku akan tidur satu menit lebih cepat dari kemarin, mulai besok aku akan olahraga satu menit per hari, hari ini aku akan latihan nafas 30 detik, sekarang aku akan menulis 50 kata. Aku akan membaca buku satu kalimat per hari”
Dimulai dari hal yang kecil dan sederhana sehingga bisa kau taklukkan secara mudah. Tujuannya agar sinyal amigdala tidak berbunyi dan menganggap langkahmu berbahaya.
Ketika berhasil melakukan hal-hal kecil dan simpel, perasaan yang muncul adalah perasaan senang karena bisa melakukan hal semudah ini dengan cepat. Saking kecilnya perubahan ini, alarm bahaya di amigdala kita tidak membunyikan tanda bahaya dan tidak merasa waspada dengan perubahan ini. Sehingga perasaan cemas dan takut gagal tidak lagi datang seperti biasanya karena kita memulai respon secara kecil dan perlahan.
Apa tujuan akhir dari perubahan kecil ini? Dokter Jiemi mengatakan ketika tujuan sederhana bisa tercapai, otak akan membentuk jalur saraf baru dan amigdala akan terlonggarkan pada bagian itu. Amigdala tidak menganggap ini hal baru yang perlu diwaspadai karena sudah dibangun perlahan sejak lama. Perubahan kecil ini membangun persarafan di otak secara pelan dan amigdala mengizinkannya. Sehingga semakin lama perubahan semakin konstan. Sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit. Tertarik untuk mulai melakukannya? Aku juga. Salam.
Medan, 5 Mei 2021
𝐏𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬: 𝐌𝐚𝐫𝐢𝐚 𝐉𝐮𝐥𝐢𝐞 𝐒𝐢𝐦𝐛𝐨𝐥𝐨𝐧
#Olahrasa
#30HariBlogBer23
#BloggerMedan
Komentar
Posting Komentar