Dakshina
Peringatan!
Terdapat dramatisir adegan di beberapa bagian cerita, tetapi tetap mempertahankan garis besar cerita asli. Terimakasih.
Sesaat sebelum tubuh Senapati Agung Kurawa, Resi Drona ambruk, dipikirannya hanya ada Ekalawya. Anak itu, pikirnya. Tak berselang lama, pedang Drestadyumena memenggal kepala Drona. Drona mati seketika sesuai sumpah Ekalawya.
Sebenarnya Drona sudah tahu akan ada bencana besar terjadi padanya ketika Bisma meninggal di hari kesepuluh Perang Kurukshetra. Drona menggantikan posisinya sebagai panglima tertinggi pasukan Kurawa.
Segala strategi dan formasi Cakrabhuya yang disusunnya seakan sia-sia ketika berhadapan dengan Dresta. Ditambah lagi semangatnya berkurang ketika salah mengira Aswatama, putranya sudah meninggal. Apapun itu, Ia tahu ada campur tangan arwah Ekalawya di dalamnya. Anak itu, pikirnya.
***
Ekalawya
Aku sangat benci sekaligus hormat padanya. Aku jauh-jauh datang meninggalkan kaumku hanya untuk ditolak menjadi muridnya. Apa yang salah denganku? Aku hanya ingin belajar seni pertempuran dengannya. Tekadku belajar dari guru terbaik. Apa aku salah? Kalian para pembaca haruslah menjadi hakim atas kisah ketidakadilan yang kualami.
Perkenalkan, aku adalah Bambang Ekalawya. Sesuai namaku Ekalawya berarti memusatkan diri kepada ilmu. Aku akan memusatkan diriku untuk belajar menjadi pemanah terbaik untuk nantinya melindungi Kaum Nishada. Sebagian besar suku kami menggantungkan hidup dengan memburu binatang di hutan. Kerajaan tetangga sering menyebut kami manusia hutan.
“Ayahanda, izinkanlah anakmu ini pergi sementara berguru ke Hastinapura. Di sanalah Resi Drona. Guru pemanah terbaik yang ada di dunia. Izinkan anakmu ini pergi sementara. Aku segera kembali,” kataku bersujud di kaki Yang Mulia Hiranyadanus.
“Aku sebagai pemimpin kaum Nishada akan merestuimu, Anakku Prabu Ekalawya. Kau gigih, tekun dan jujur. Aku mendoakan kepada Dewa agar Kau menjadi pemanah terbaik. Pergilah dan kembali dengan selamat. ” Suara besar Ayah mengawali perjalananku. Aku akan merindukannya, pikirku.
***
“ Prabu Ekalawya, terimakasih atas niatmu berguru kepadaku. Tetapi aku sudah berjanji bahwa hanya Arjunalah yang menjadi pemanah terbaik di dunia. Tetapi aku memberikan restuku untuk Kau berlatih memanah,” jawab Resi Drona kepadaku. Aku yang bersimpuh di kakinya segera bangkit berdiri. Berbalik dengan tangan hampa. Tidak lupa kekecewaanku kubawa juga bersamaku.
Aku harus bagaimana. Pilihanku untuk kembali ke istana ayah kukubur jauh-jauh. Aku sangat malu bila tidak membawa hasil apa-apa, pikirku. Ah, tiba-tiba satu ide melesat di kepalaku. Aku pun segera pergi ke hutan tak berpenghuni di dekat kerajaan Hastinapura. Hutan ini sudah kulewati di saat aku datang menemui Resi Dorna.
Kukumpulkan ranting, air dan tanah liat dari berbagai penjuru hutan. Mula-mula kubangun gubuk untukku beristirahat dan kubangun sebuah patung menyerupai Resi Drona. Agar mirip dengan Resi , aku kembali ke tempat Resi menolakku. Kuambil tanah berlumpur bekas pijakannya. Dari situ aku membentuk patungnya.
Selesai juga pekerjaanku. Menyerah bukanlah pilihan. Mungkin Resi menolak mengajariku tetapi patungnya pun bisa mengajariku, batinku penuh tekad. Aku berlatih dan terus berlatih memanah. Sesekali melihat patung Resi Drona dan memberi hormat padanya.
***
Pagi ini agak berbeda, aku berlatih di hutan tempatku dulu melatih diri sendiri. Perjalanan jauh ku tempuh hanya ingin melepas rindu dan mengingat kembali masa perjuanganku dulu.
“Kemampuanmu memanah meningkat tajam dan melebihi salah satu dari lima Pandawa, Arjuna. Aku sangat bangga padamu.” Begitulah kata ayahku ketika menontoniku berlatih tempo hari.
Matahari sudah di atas kepala ketika aku sampai di hutan. Aku segera mengeluarkan panah dari tas di belakang punggungku. Kupasangkan ke busur, mengambil posisi siaga, memicingkan salah satu mataku dan membidik targetku.
Aku terus berlatih sampai kudengar suara anjing menggonggong. Apa ada orang selain aku di hutan ini? Batinku penasaran. Aku mengikuti asal suara sambil mengambil posisi siaga. Siapatahu membahayakan diriku, pikirku lagi.
Suara gonggongan terdengar lagi. Aku semakin waspada. Sekali lagi bila anjing itu menggonggong, aku akan melepaskan panahku, batinku berjanji.
Tepat ketika aku berjanji terdengar lagi bunyinya. Segera kulepaskan panahku ke arah suara itu berasal. Aku diam menunggu reaksinya. Sepi. Setelahnya tidak lagi terdengar suara gonggongan. Aku memutuskan untuk melanjutkan latihanku.
Belum lama aku melanjutkan latihanku terdengar bunyi langkah dari kejauhan. Kali ini langkah manusia. Aku berhenti lagi. Aduh, aku hanya ingin tenang berlatih. Kenapa ada saja gangguan, gerutuku di dalam hati.
“Kaukah itu Ekalawya?,” kata suara yang mendekat padaku. Aku kenal betul suara itu.
“Engkaukah itu, Guruku Drona?” kataku balik bertanya. Sejujurnya aku merindukannya. Ini pertemuan pertama kami sejak aku ditolak berlatih olehnya.
“Iya. Ini aku Resi Drona. Kaukah yang memanah mulut anjing ini? Hanya pemanah terlatih yang bisa menancapkan panah tepat di ujung moncong anjing ini tetapi tidak melukainya.” katanya dengan dingin sekaligus penasaran.
Bukan ini jawaban yang kuharapkan. Harusnya dia menanyakan kabarku, pikirku lagi.
“Ya. Aku yang memanah anjing itu, Guru. Tadinya aku hanya memanah secara serampangan ternyata mengenai moncongnya. Akupun baru melihatnya,” kataku sejujurnya.
Aku melihat perubahan raut muka Arjuna. Entah kenapa, aku bisa merasakan ketidaksukaannya kepadaku. Kulihat Guru Drona pun merasakan perubahan mimik Pangeran Arjuna.
“Ah, Ekalawya. Aku hampir lupa mengenalkanmu dengan muridku yang tampan ini. Dialah Pangeran Arjuna, SANG PEMANAH TERBAIK DI DUNIA SEKARANG DAN SELAMANYA,” kata Resi Dorna padaku.
Aku paham tindakannya itu untuk mencairkan suasana. Sayangnya tidak berhasil. Siapapun tahu kalau dia adalah Arjuna. Lukisan gambar dirinya ada dimana-mana. Ketampanannya menjadi bahan cerita di Nishada, tempatku tinggal. Kuakui dia memang sangat tampan.
Aku juga paham kalau Resi Dorna menekankan kalimat terakhirnya supaya aku tahu diri menempatkan posisi. Bagaimanapun aku menghormati Guru Dorna. Dia alasanku serius berlatih memanah. Dia juga yang menemaniku berlatih di hutan. Hmm, patung dirinya maksudku. Tentu engkau sudah paham.
“Baik, Guruku. Senang bisa berkenalan dengan Pangeran Arjuna,” kataku berusaha ramah.
“Ekalawya, kenapa Kau daritadi menyebutku guru. Kau bukan muridku. Hentikan itu.”
“Resi Drona, Kau memang guruku. Kau yang membuat aku mahir berlatih memanah. Bahkan ayahku menyebutkan kemampuanku melebih Arjuna. Selama aku berlatih sendiri di hutan, aku membuat patung yang menyerupaimu dan patung itulah yang menjadi kekuatanku berlatih, Guruku,” belaku tak mau kalah.
Kulihat kekecutan muka Arjuna bertambah mendengar jawabanku. Kuperhatikan lagi wajah Arjuna. Tetap tampan. Memang benar kata pepatah, kalau kau tampan, separuh masalah hidupmu sudah terselesaikan, pikirku tidak pada tempatnya.
“Kau sungguh tidak bermoral, Ekalawya. Kau sudah pernah kutolak menjadi muridku. Jangan pernah lagi Kau katakan kebohongan itu. Sekalipun aku tidak pernah memberikan ilmuku kepadamu. Itu hanya halusinasimu. Kau bukan muridku,” teriaknya padaku.
Hatiku sangat terluka. Kulihat lagi Arjuna. Dia mengangguk-angguk puas dengan jawaban Guru Drona.
“ Aku ingat Engkau memberikan restumu, Guruku. Itulah yang membuat aku semangat dan terus berlatih tanpa henti,” kataku. Air mataku mulai membasahi pipiku. Sedih sekali rasanya ditolak seperti ini oleh sosok yang kau puja dan hormati.
Kulihat kening Resi Drona berkerut tanda sedang memikirkan sesuatu.
“ Baiklah. Kalau Kau memang sungguh mau menjadi muridku, aku mempunyai syarat. ,” kata Drona akhirnya.
Kuhapus airmataku dan kutajamkan pendengaranku. Aku segera berlutut, sebagai tanda aku serius dan mau memenuhi syaratnya.
"Katakanlah, Guruku. Aku siap memenuhinya."
“Aku ingin Kau mempersembahkan dakshina kepadaku sebagai yadnya tanda pelajaranmu telah sempurna. Setelahnya Kau bisa menjadi dan mengaku sebagai muridku,” ujar Guru Drona perlahan.
Kulihat lagi Arjuna menunjukkan muka tidak puas.
“Guruku, aku tidak mempunyai apapun yang berharga yang bisa kuberikan kepadamu. Apakah yang dapat kuperbuat agar dapat menunjukkan kesungguhan hatiku menjadi muridmu?” tanyaku sambil tetap bersimpuh.
“Ekalawya, sebenarnya aku menginginkan sesuatu darimu …,” katanya menggantung.
“Katakan saja, Guru. Apapun akan kuberikan padamu,” kataku segera.
“Aku menginginkan ibu jari kananmu untuk Kau berikan kepadaku,” kata Resi Drona tersenyum simpul.
Aku sangat terkejut. Hatiku patah seketika. Siapapun tahu kalau jempol tangan kanan bagi seorang pemanah adalah nyawa keduanya. Tanpa ibu jari, aku tidak akan bisa membidik dengan tepat. Jelas ini permintaan jebakan. Buah simalakama yang harus kutelan bulat-bulat. Aku benar-benar gelisah sekali.
“Kau bisa saja menolak kalau tidak mau menyerahkannya, Ekalawya. Sesederhana itu,” kata Guru Drona dengan tegas. Mukaku mengeras. Aku di ambang keraguanku.
“Baiklah, Guru. Aku bersedia memenuhi permintaanmu,” kataku menunjukkan keseriusanku.
Kuambil belati yang ada di pinggang kananku. Kutebaskan cepat ke arah ibu jariku. Darah segar mengalir cepat dari luka terbuka. Segera kututup lukanya dengan kain selendang yang ada di pinggangku. Kejadiannya berlangsung sangat cepat.
“Ini ibu jariku sesuai permintaanmu, Guruku. Aku siap kehilangan kemampuan memanahku asalkan bisa menjadi muridmu. Inilah tanda kesungguhan hatiku,” kataku sambil bercucuran air mata.
Hatiku benar-benar patah. Impianku dari kecil untuk menjadi pemanah harus berhenti di sini. Aku ikhlas demi baktiku kepada Guru Drona. Kulihat Resi Drona dan Arjuna saling memandang dan tersenyum sangat puas.
Keterangan :
a. Dakshina:
1. Simbol salam kepada manifestasi Tuhan (Hyang Widhi Wasa ). Dakshina juga berarti buah yadnya. Setelah upacara, daksina disajikan kepada pemimpin upacara untuk bersyukur. ( S
umber : nyomankarna(dot)id ).
umber : nyomankarna(dot)id ).
2. Merupakan tradisi pemberian sesuatu, sesuai permintaan guru kepada muridnya, sebagai tanda terima kasih dari seorang murid yang telah menyelesaikan pendidikan. (Sumber : Wikipedia).
b. Yadnya : korban suci
Medan, 6 Juni 2020
Penulis: Maria Julie Simbolon
aa
BalasHapusMbak, dirimu ada buku semacam kumcer yang udah terbit dalam bentuk kah? Aku suka nih sama gaya kamu bercerita