Apakah Merawat Orang Tua Adalah Kewajiban Anak?
Saat membaca berita ini, aku jadi teringat sebuah pengalamanku yang pernah bersinggungan dengan kejadian yang mirip seperti ini. Sekitar empat tahun yang lalu, aku sedang menjaga almarhumah Mami di salah satu rumah sakit di Medan.
Hari itu masih pagi, sekitar pukul delapan pagi, waktunya pasien untuk sarapan pagi. Seseorang di seberang ruangan tiba-tiba berteriak lantang. Jarak ruangan tempat Mami dirawat tidaklah jauh, hanya sekitar sepuluh meter dengan asal suara, sehingga aku bisa mendengar suaranya jelas sekali.
"Suster, tolong panggil satpam. Anak ini kurang ajar, Suster. Mau ditinggalkanya mamaknya. Gak ada otaknya, Suster. Tolong!" teriak suara seorang perempuan.
"Memang gak ada otakmu, ya. Mamakmu masih tidak sadar, mau kau tinggalkan pulak?" Suara itu kembali menggema.
"Siapa, dek?" tanya Mami sama penasarannya denganku. Aku menggeleng pelan tanda tak tahu.
Aku yang sedang menemani Mami makan segera berdiri untuk melihat keributan kecil di depan kamar rawat. Sejujurnya aku tak mengenali siapa mereka. Walau Mami sudah dirawat kurang lebih tiga minggu lamanya, pasien yang datang dan pergi silih berganti. Sehingga aku tidak bisa mengenali sosok di hadapanku.
Kulihat seorang pemuda berusia tiga puluhan sedang terduduk lemas di depan kamar rawat. Rambutnya acak-acakan, tubuhnya kurus tak terawat dan wajahnya hanya bisa menunduk menatap lantai keramik rumah sakit. Kulihat di tangannya dia menggenggam erat gulungan kecil uang kertas. Ada lembaran dua ribu dan dua puluh ribu.
"Capek aku. Capek aku, Pak Satpam. Gak sembuh-sembuh pun Mamakku. Lebih baik kutinggalkan, Kan bukan cuma aku anaknya. Kenapa cuma aku yang merawat? Aku juga harus hidup." Tangisnya tak bisa ditahan lagi. Raungannya menyayat hati siapa pun yang mendengar. Pak Satpam yang tadinya menghardik, segera jongkok perlahan untuk menenangkannya.
Selanjutnya aku tak tahu kelanjutan ceritanya, karena Mami memanggilku. Rupanya cairan infusnya tinggal sedikit lagi. Belakangan kutahu ibu yang berteriak tadi adalah keluarga pasien yang ranjangnya bersebelahan dengan ibu si pemuda.
Kilasan kenangan di atas muncul saat aku kembali menonton film pendek kesayanganku, Lemantun. Apakah merawat otang tua adalah kewajiban anak? Mungkin kita bisa menyimpulkannya setelah membaca ulasan berikut, ya.
Ada sebuah film pendek berjudul Lemantun yang menarik perhatianku. Film ini disutradarai oleh sineas muda seusiaku yang bernama Raphael Wregas Bhanuteja. Dari film ini aku banyak belajar tentang kesabaran, penerimaan dan mengasihi tanpa syarat.
Ada seorang pria berusia sekitar tiga puluhan bernama Tri. Dia adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Di antara saudaranya yang lain hanya Tri yang tidak mempunyai gelar dan pekerjaan mentereng. Seluruh saudara Tri tinggal dan bertugas di daerah lain. Dia pun memutuskan merawat dan tinggal bersama Ibunya yang sudah renta. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dia berjualan bensin di depan rumah Ibunya.
Satu ketika Ibu memangil kelima anaknya untuk berkumpul. Tujuannya adalah membagikan harta warisan. Tentu semua saudara Tri datang. Siapa yang tidak mau dan tertarik dibagi-bagikan harta?
Biasanya hal yang dibagikan orangtua lain dalam pembagian warisan adalah berupa tanah, sawah dan barang berharga lainnya. Ibu malah berencana memutuskan membagi lima lemari tua kesayangannya dan almarhum suaminya kepada kelima anak.
Bukannya merasa bahagia dan berterimakasih, ketika menerima lemari ini ada rasa berat dari keempat anak. Ditambah lagi ada syarat dari Ibunya yaitu lemari itu harus dibawa sore itu juga. Jika tidak segera dibawa maka penerima akan dikenakan denda seratus ribu rupiah per hari. Akhirnya semua anak kecuali Tri bergegas mencari angkutan untuk memindahkan lemari-lemari itu.
Tri sebenarnya bingung menentukan tujuan kemana harus membawa lemari itu. Dia merasa sangat senang dan berterima kasih atas pemberian ibunya tetapi di sisi lain kebingungan karena tidak memiliki rumah untuk menyimpan lemari berwarna cokelat tua itu. Satu-satunya tempat Tri untuk berteduh hanyalah rumah Ibunya.
Akhirnya dia memilih mengesampingkan pikiran itu dan memilih sibuk membantu saudaranya mengangkat lemari-lemari mereka. Selepas kepergian semua saudaranya, Tri tercenung dan meringkuk di dalam lemari bagiannya.
Sepertinya dia merenungi semua keputusan hidupnya saat ini. Apakah hanya dia yang memiliki kewajiban mengurus ibunya? Apakah dia seharusnya fokus saja mengurusi pencapaiannya dan mengabaikan keberadaan Ibu seperti saudaranya yang lain?
Di akun Instagramnya, Wregas bercerita kalau film yang dirilis tahun 2014 ini terinspirasi dari kisah nyata neneknya yang menginisiasi pembagian lemari di tahun 2011 di Solo. Lemantun dalam bahasa Jawa halus bermakna lemari. Agar semua anak tidak saling iri dan bersyakwasangka akan bentuk dan ukuran lemarinya maka dilakukan undi. Setiap lemari sudah ditempeli nama kedelapan anaknya.
Tiga tahun sesudah acara undi, Wregas Bhatuneja membuat Lemantun menjadi film pendek sekaligus sebagai tugas akhir di perkuliahannya di Institut Kesenian Jakarta.
Ketika selesai menonton itu, aku merenung mengingat pertanyaan salah satu saudara Tri yang bernama Antok kepada Tutik, saudara Tri yang lain. Antok dan Tutik mencemooh keputusan Tri. Mereka seolah tidak bisa melihat semua dedikasi Tri yang memberikan seluruh dirinya untuk merawat Ibunya.
Tri adalah sosok yang paling banyak memberi tetapi dilupakan. Pengorbanannya seperti musim panas setahun yang dihapus hujan sehari. Hilang tanpa jejak. Pencapaian yang tidak penting.
Hal yang tersisa baginya hanyalah perkataan miring dari saudara dan orang di sekitarnya. Seolah Tri adalah sosok yang menjadi duri dalam daging bagi kehidupan ibunya. Dari rahim yang sama tetapi dengan kadar kasih yang berbeda. Menurutku lemari di cerita ini bisa menjadi simbol dari rahim ibu. Rahim dalam bahasa Arab juga berarti kasih sayang. Bakti kepada Ibu adalah konsep yang asing bagi saudara-saudara Tri.
Sepanjang film disajikan perilaku saudaranya yang hanya berbicara seputar gelar, jabatan, reputasi dan hidupnya yang lain di luar kehidupan Ibu mereka. Apakah bisa kita simpulkan kalau saudara Tri yang lain adalah anak durhaka? Terlalu dini rasanya.
Emosi saudara-saudara Tri sangat terbatas disajikan di film pendek ini. Hanya sebatas sikap dingin dan kurang peduli kepada Ibunya ketika pembagian lemari berlangsung. Denda bisa kita artikan materi yang dinilai lebih berharga dari nilai lemari pemberian Ibunya.
Kita tidak tahu hari-hari saudaranya yang lain. Mungkin saja sayang kepada Ibunya dan mungkin saja tidak. Hanya sekelumit kehidupan Tri yang bisa kita intip sejenak.
Aku merasakan ledakan emosi ketika menonton film ini. Mungkin ini sentimenku saja. Bisa jadi berbeda bila kau menyaksikannya sendiri. Film ini membuatku bersyukur pernah diberi pilihan yang sama dengan Tri.
Bila waktu diulang kembali aku tetap memilih pilihan yang sama dengan Tri. Tidak ada yang perlu disesali. Lemah teles, Gusti sing mbales. Kehidupan punya warnanya sendiri. Terlalu dini menyimpulkan apa warnaku.
Bagaimana denganmu? Apakah dirimu tertarik ingin menontonnya dan menyaksikan bagian akhirnya yang sangat menggugah? Atau sudahkah dirimu bisa menjawab apakah merawat orang tua adalah kewajiban anak? Sambil menunggu jawabanmu, film ini bisa diakses secara gratis di saluran Youtube dengan nama akun Wregas Bhanuteja, ya. Aku menyertakan linknya di bawah. Salam.
Link Film Lemantun
Judul Film: Lemantun
Tayang Perdana: 2014
Pemain: Freddy Roterdam, Den Baguse Ngarsa, Agus Kencrot, Titik Renggani, Trianto Hapsoro dan Tatik Wardiono.
Produser: Nia Sari
Sutradara: Wregas Bhanuteja
Penulis Naskah: Wregas Bhanuteja
Editor: Mochamad Rizky Pratama
Durasi: 22 Menit
Produksi: Tugas Akhir S1 di FFTV Institut Kesenian Jakarta tahun 2014
Genre: Drama Keluarga
Medan, 22 April 2021.
Penulis: Maria Julie Simbolon
#Ulasan
#30HariBlogBer10
#BloggerMedan
@Blogger_Medan
"Lemantun" sungguh film pendek yang sarat makna tentang bakti anak terhadap orang tua. ��
BalasHapusBenar, Ito. Saya favoritkan film ini. Terima kasih sudah dibaca, ya.
Hapus