Memakan Daging Saudara Sendiri
Judul Buku : Kappa
Nama Penulis : Ryunosuke Akutagawa
Penerjemah : Winarta Adisubrata
Tahun Terbit : 2016
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia)
Halaman : 83 halaman
Nomor ISBN : 9786024240950
Buku Kappa adalah karya ke-28 dari tiga puluh karya yang dihasilkan oleh Ryunosuke Akutagawa. Karyanya yang terkenal antara lain: Rashomon, Imogayu, Dalam Hutan (Yabu No Naka) dan Jaring Laba-Laba/ Suatu Hari di Surga (Kumo No Ito).
Ryunosuke Akutagawa lahir di Tokyo pada 1 Maret 1892. Sastrawan Jepang yang dikenal sebagai penulis cerpen dan novel pendek ini juga memiliki pesan terakhir sebelum meninggal yang banyak diingat orang yaitu, “hanya kegelisahan yang usulnya tidak jelas.
Sepanjang karir kepenulisannya, Ryunosuke tidak pernah membuat novel panjang. Sebagian besar tulisannya mengangkat kisah dari naskah kuno dan cerita anak-anak. Dia meninggal di usia 35 tahun, setelah karya terakhirnya, Zoku Saiho No Hito ditulis. Sampai kini, karya penulis dijadikan bacaan wajib murid sekolah menengah di Jepang.
Buku bersampul merah ini dimulai dari pengakuan seorang pasien dengan diagnosis ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) bernama Pasien No. 23 yang melakukan perjalanan ke Negeri Kappa.
Bagian awal diisi dengan Tokoh Aku sebagai pemeran utama yang terjatuh saat mendaki Gunung Hodaka. Tokoh Aku ditolong oleh seorang Kappa yang berprofesi nelayan. Sama dengan dunia manusia, di dunia Kappa pun mengisi hidupnya dengan berbagai macam pekerjaan: filsuf, dokter, nelayan, buruh pabrik, direktur pabrik gelas dan pekerjaan lain selayaknya manusia.
Kappa sendiri digambarkan sebagai makhluk mitos dari Jepang yang berkepala cekung. Ada ceruk berisi air di cekungan itu. Perawakan Kappa mirip anak berusia sepuluh tahun. Berat tubuhnya di bawah 25 kilogram. Kappa biasa beraktivitas telanjang, berdiri tegak dan dapat berbicara seperti manusia. Berambut pendek sebahu dan hidup di air.
Kappa juga sangat suka mencuri semangka,
apel dan hasil ladang lainnya. Setiap bertemu dengan laki-laki atau perempuan,
Kappa menantang untuk bergulat menguji kekuatan. Kulit Kappa licin dan berubah
sesuai apa yang ada di dekatnya. Biasanya berwarna abu-abu dan hijau.
Awal hidup di dunia Kappa, Tokoh Aku merasakan negeri Kappa mirip dengan negeri manusia khususnya daerah Ginza, Jepang. Setelah lukanya dirawat oleh dokter Kappa, Tokoh Aku mendapat kesempatan untuk tinggal beberapa lama di Negeri itu sebagai tamu kehormatan. Tokoh Aku berpikir rumah tinggal sementaranya sangat kecil, seperti rumah untuk anak kecil. Namun, dia mulai tertarik untuk bersosialisasi dan mempelajari bahasa Kappa.
Tokoh Aku banyak menemui budaya Kappa yang aneh dan menarik. Salah satunya adalah kappa betina sangat terobsesi mengejar-ngejar kappa jantan untuk dikawini. Bila kappa betina akan melahirkan, kappa jantan akan membisikkan pada bayi di perut: apakah bayi ingin hidup atau ingin mati saja? Dari lahir kappa bisa memilih. Bila bayi Kappa memilih tidak ingin dilahirkan maka bidan Kappa akan meyuntikkan cairan untuk menghilangkan nyawa bayi. Namun, bila dia ingin hidup, bayi akan langsung berjalan dan berbicara. Menarik bukan?
Novel pendek yang terdiri dari tujuh
belas bagian dan 83 halaman ini mempunyai cerita yang menarik. Di awal, aku
berpikir ini hanya berisi fantasi yang mengundang imajinasi kita untuk
membayangkan sosok Kappa. Di bagian tengah, tulisan Akutagawa ini mulai membuat
kita berpikir bahwa ini adalah alegori kritik sosial pada keadaan yang terjadi
di zaman Meiji tahun 1920-an.
Satire adalah kata yang tepat untuk menggambarkan isi buku ini dalam satu kata. Ada dua tokoh dalam cerita yang aku pilih untuk menginterpretasikan.Pertama, Mag sang filsuf dan kedua, Gael sang kapitalis. Mag adalah filsuf yang hidup dengan bebas dan merdeka. Tidak ingin terikat dengan lembaga pernikahan. Sangat ingin dimasakkan telur dadar oleh kappa betina tapi tidak membina hubungan serius.
Mag juga mengkritik hubungan sosial saat melihat seorang Kappa muda yang jenius tetapi harus mengorbankan hidupnya untuk mengurus dan memenuhi kebutuhan orang tua dan anggota keluarganya yang lain.
Kritik Mag bahkan masih relevan di zaman
ini, tentang isu generasi roti lapis (sandwich generation). Mag tidak setuju
kalau seorang anak yang cemerlang harus bekerja keras bukan hanya untuk dirinya
melainkan membiayai adik, orang tua dan keluarganya.
Tokoh lain yang menarik adalah Gael sang kapitalis yang berperut besar dan kaya raya. Tokoh Aku mulai merasa terusik ketika melihat pertunjukan musik yang disinyalir bertentangan dengan pemerintahan Kappa dibubarkan. Hal lain yang mengganggu pikiran Tokoh Aku adalah tidak adanya berita yang menayangkan tentang banyaknya pekerja yang dirumahkan karena tenaga mesin industri sudah menggantikan tenaga kerja manusia.
Satu waktu Tokoh Aku diundang makan di rumah Gael. Tokoh Aku bertanya kemana para pekerja yang miskin itu? Jawaban dari Gael menurutku sangat menggelitik. Berikut kutipannya dari halaman 33, “Mereka dimakan habis,” jawab Gael acuh tak acuh dengan cerutu di antara bibirnya. “Kami bunuh pekerja-pekerja itu dan makan dagingnya.”
Tokoh Aku merasa muak. Namun Gael berkelit kalau keadaan di negeri manusia sama bahkan lebih bobrok. Masih dari kutipan halaman 33, “Oh, kau jangan begitu pandir! … Di negerimu beberapa gadis-gadis tingkat rendahan menjadi pelacur, bukan? Kalau kau muak makan daging pekerja, itu cuma sentimentalisme.”
Sampai akhir novel ini sarat akan satir, celaan dan kritik. Karya sastra ini lahir berkat keresahan dan ketidakpuasan Akutagawa dengan kondisi sosial masyarakat di zaman Restorasi Meiji.
Sindiran lain adalah seni sebagai salah satu sarana mengekspresikan diri dibatasi oleh negara. Seni seyogianya terlahir bebas dan tidak dibatasi aturan-aturan yang mengikat.
Nah, apakah Tokoh Aku akan tetap tinggal di Negeri Kappa? Apakah Tokoh Aku akan berinteraksi lagi dengan manusia? Apakah Kappa pekerja mengalami perubahan nasib di akhir cerita? Silakan temukan sendiri di bukunya.
Buku ini akan membawamu pada berbagai
rasa: senang, marah dan kesal. Berdasarkan ranking dari para pembaca,
kemungkinan besar kau akan antusias membacanya sampai selesai. Bila kau ingin
membaca buku yang tidak tebal tetapi menarik, buku ini adalah jawabannya. Novel
pendek yang dapat dibaca sekali duduk.
Kutipan di halaman 48 dari buku ini menjadi pesan penutup ulasan ini: “Apa yang paling ingin kita banggakan ialah yang tidak ada pada kita.” Oh ya, buku ini bisa kaupinjam di IPUSNAS, ya. Salam.
Medan, 17 April 2021
Penulis: Maria Julie Simbolon
#30HariBlogBer5
#BloggerMedan
@Blogger_Medan
Cakeup kali bah.. Ngeri juga ya kalau kondisinya seperti itu. Tapi bagi beberapa mungkin ada yang setuju. Apa lagi sekarang semakin banyak muncul pernyataan sekaligus pertanyaan, "Emang aku minta dilahirin?" Hmm..
BalasHapusHahahahhaha. Iya pulak ya, Kak. Beda penutur dan beda pengertian ya, Kak.
HapusBtw aku merasa amaze sekali sama buku ini, Kak. Kappa ini karya yang masih relate sekali jika dibaca sekarang. Karyanya tak dibatasi ruang dan waktu.
Mantap reviewnya. Detailnya dapat, tapi malah bikin tambah penasaran sama bukunya. 👍👍👍 Semangat menulis Kak Marjul ❤️👍
BalasHapusTerima kasih, yaaaaa.
Hapus